Dunia dalam Gelembung - - - Reza A.A Wattimena,

Dunia dalam Gelembung

Oleh Reza A.A Wattimena,

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya,

Kita hidup di dunia dalam gelembung. Kita menggelembungkan segala yang ada, sehingga hampir semuanya kehilangan akar realitasnya, dan tampak berlebihan. Pada akhirnya, kita pun kehilangan pegangan pada realitas yang sesungguhnya, dan hidup dalam kebohongan.

Realitas yang Sesungguhnya?

Para pemikir sosial kritis tentu akan bertanya, apakah mungkin, kita mengetahui “realitas yang sebenarnya?” Bagi mereka, setiap pengamatan dan setiap pendapat selalu berbalut satu teori dan sudut pandang tertentu, sehingga tak pernah bisa sungguh mutlak, dan tak pernah bisa sungguh menangkap, apa yang “sesungguhnya terjadi”.

Jacques Derrida, filsuf asal Prancis, bahkan berpendapat, bahwa apa yang dapat kita ketahui hanyalah jejak dari relitas, dan bukan realitas itu sendiri. (Derrida, 1989) Maka dari itu, kepastian pengetahuan pun hanya ilusi. Orang yang merasa pasti, bahwa ia mengetahui sesuatu, berarti ia hidup dalam ilusi, karena ia tidak bisa membedakan antara jejak dari realitas, dan realitas itu sendiri.

Argumen ini memang masuk akal, dan memiliki kebenarannya sendiri. Akan tetapi, pada hemat saya, kita dapat mengetahui realitas yang sebenarnya, walaupun pengetahuan itu tidaklah mutlak, karena realitas itu berubah, maka pengetahuan manusia pun juga harus berubah. 

Di dalam filsafat pengetahuan, dinyatakan dengan jelas, bahwa syarat pertama kebenaran adalah kesesuaian antara kata, pikir, dan kenyataan. Syarat ini, pada hemat saya, bisa digunakan untuk menanggapi argumen di atas, bahwa pengetahuan kita itu relatif, dan kita hanya dapat mengetahui jejak dari realitas, dan bukan realitas itu sendiri.

Sampai titik tertentu, manusia mampu menciptakan kesesuaian antara kata, pikir, dan kenyataan. Pada titik ini, gelembung adalah elemen yang membuat kita tak mampu melihat realitas, tetapi hanya bentuk hiperbolis (berlebihan) dari realitas yang ada.

Tidak ada kesesuaian antara kata, pikir, dan kenyataan, karena kenyataan tertutup oleh gelembung, yang membuatnya seolah lebih, dari kenyataannya. Dalam bahasa gaul, gelembung ini bisa juga dibilang sebagai lebay.

Gelembung Informasi dan Citra

Gelembung pertama adalah gelembung informasi. Setiap hari, pikiran kita diserang oleh jutaan informasi, mulai dari iklan, berita di koran, sampai dengan dengan gossip terbaru artis ternama. Pemberitaan di TV dan koran pun seringkali berat sebelah, yakni fokus pada satu area tertentu dengan sudut pandang tertentu, tetapi tidak meliput area lainnya, dan dari sudut pandang lainnya.

Akibatnya, yang kita peroleh adalah gelembung informasi, yakni informasi berlebihan tentang satu area, dan informasi berlebihan dengan menggunakan satu sudut pandang tertentu. Kita mengalami gelembung informasi di satu sisi, sekaligus krisis informasi di sisi lain, karena kita menjadi buta dengan apa yang terjadi di negara lain, dan rabun, karena tak mampu melihat dari sudut pandang lain.

Gelembung informasi berujung pada gelembung citra. Gelembung citra membuat sesuatu atau seseorang tampak lebih dari aslinya. Gelembung citra menghasilkan kesalahpahaman, karena orang menghormati dan menghargai gelembung, dan bukan realitas sejatinya, yang amat mungkin tidak seperti gelembung yang tampak.

Gelembung Harapan dan Kekecewaan

Dengan citra yang menggelembung, orang pun memiliki harapan yang menggelembung. Namun, karena gelembung bukanlah realitas, bahkan seringkali menipu, maka orang pun akan terjebak dalam kekecewaan. Harapan yang menggelembung pada akhirnya akan bermuara pada kekecewaan yang besar, karena harapan tersebut jauh dari kenyataan yang ada.

Di sisi lain, jika kita memperhatikan berita-berita di media massa, akan terasa sekali, adanya gelembung negativitas, yakni pemberitaan berlebihan tentang apa yang negatif. Gelembung negativitas ini, jika tidak disingkapi dengan sikap kritis, akan membuat kita melihat dunia juga dengan sikap sinis dan negatif.

Cara berpikir negatif adalah awal dari tindakan negatif. Artinya, gelembung negativitas pemberitaan dunia akan juga menghasilkan gelembung negativitas cara pandang, yang amat mungkin akan mendorong tindakan-tindakan negatif, atau ketidakpedulian. Gelembung negativitas juga akan menghasilkan gelembung kekecewaan, yang pada akhirnya membuat orang tak lagi tergerak untuk memperbaiki keadaan.

Gelembung Ekonomi dan Politik 

Dunia ekonomi dan bisnis juga terjebak pada gelembung-gelembung semu yang mengaburkan keadaan. Seperti dinyatakan oleh Herry Priyono, dosen di STF Driyarkara, Jakarta, ekonomi harus kembali dijangkarkan ke realitas. (Priyono, 2010)

Artinya, ekonomi tidak lagi melulu soal jual beli uang, yakni alat tukar semata, tetapi kembali menjadi produksi barang konkret yang bermanfaat untuk banyak orang. Artinya, ekonomi harus diubah, tidak lagi sekedar gelembung finansial jual beli uang, tetapi menghasilkan barang-barang yang bisa memperbaiki kualitas hidup manusia.

Krisis finansial yang terjadi dewasa ini juga disebabkan oleh meletusnya gelembung finansial di sistem keuangan AS yang memang tak lagi bisa dikendalikan, lalu menular ke seluruh dunia. Pada hemat saya, gelembung finansial perlu, tetapi tetap harus dalam kontrol pemerintah serta masyarakat, dan tetap dalam jumlah minimal, dibandingkan dengan aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang konkret.

Kita juga mengalami gelembung politik. Sudah banyak analisis tentang politik pencitraan. Ini terjadi, karena para politikus hidup dalam gelembung, yang menutupi realitas dirinya, dan menampakkan yang lain, yang sudah digelembungkan, ke masyarakat luas. Akibatnya jelas, gelembung politik melebih-lebihkan citra seorang politikus, tetapi kinerjanya jelek, sehingga tidak memperbaiki keadaan, malah mungkin merusak.

Gelembung Budaya dan Pendidikan

Dunia akademik kita juga hidup gelembung. Kampus-kampus di Indonesia beusaha menggelembungkan dirinya menjadi kampus internasional, tetapi jauh dari jangkar dunia, dan nyaris tercerabut dari persoalan-persoalan mendesak realitas. Penelitian sibuk dengan gelembung teknis dan hibah, serta lupa memahami, apa yang sesungguhnya terjadi di dalam dunia.

Beragam negara berusaha meggelembungkan budayanya, sehingga berusaha menutupi borok perilaku politiknya. Data statistik dan analisis dipelitintir sedemikian rupa, sehingga menghasilkan citra gelembung yang nyaris tak ada kaitannya dengan realitas sebenarnya. Gelembung politik adalah kebohongan yang dipelintir seolah menjadi kebenaran.

Gelembung di dunia sosial juga mempengaruhi cara orang melihat dirinya sendiri. Pada akhirnya, orang juga akan mengalami gelembung diri, yakni melihat dirinya lebih dari yang sesungguhnya ada. Narsisme adalah gelembung diri, dan menurut David Brooks, penulis buku The Social Animal, melihat, narsisme adalah gejala manusia modern, yakni melihat dirinya lebih dari aslinya. (Brooks, 2011)

Gelembung adalah dunia semu yang menyelimuti realitas yang sebenarnya. Gelembung adalah simbol kemegahan dan kebesaran, tetapi sebenarnya di dalam kosong dan rapuh. Maka dari itu, kita tidak bisa begitu saja percaya pada gelembung-gelembung sosial di sekitar kita.

Di dalam hidup, kita harus berusaha melihat apa yang melampaui indera. Bukan supernatural, melainkan apa yang tak tampak, yang ada di balik setiap gelembung di sekitar kita. Dunia dalam gelembung adalah dunia yang penuh pencitraan, yang seringkali juga berubah menjadi dunia yang penuh kebohongan.

Tulisan ini diinspirasikan dari diskusi bersama Margaretha Rehulina, Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya.


No comments

Theme images by fpm. Powered by Blogger.