Dublin -- Yuli Pritania

Detail Buku:
Judul: Dublin
Penulis: Yuli Pritania

Penerbit: Grasindo, 2016
ISBN: 978-602-375-652-0
Bahasa: Indonesia
Jumlah halaman: 236 halaman

Deskripsi:Mia salah akan satu hal: Dublin tidak seindah yang dia bayangkan.


Dia berharap melihat pegunungan, padang rumput, tebing, kastel, dan jalanan yang dipagari dinding batu seperti yang muncul dalam lm- lm favoritnya. Yang dia dapatkan adalah gedung-gedung tua berwarna seragam dengan tampilan membosankan, pusat kota yang penuh turis, dan suhu musim semi yang membuat beku.


Lalu dia bertemu Ragga, lelaki dari masa lalunya, yang menunjukkan pada Mia sisi lain dari Dublin, menguak harta karun yang tersembunyi di balik bangunan- bangunannya yang tidak menarik. Dari Sungai Li ey, mereka menjelajahi museum-museum, berbagi sejarah tentang puluhan patung, mengunjungi taman-taman dengan rumpun bunga yang belum mekar, bergabung dengan keriuhan Temple Bar, melewati ratusan pub yang tersebar di seluruh bagian kota, mendaki salah satu tebing Inishmore di Aran Islands demi mengabadikan matahari terbit, hingga menyaksikan matahari tenggelam di Phoenix Park.


Saat kunjungannya menuju akhir, Mia merasa dirinya enggan kembali ke Indonesia. Ke rutinitasnya, skenario lmnya yang tak kunjung usai, dan tunangan yang menunggunya pulang. Sampai dia teringat, bahwa sedari awal, Ragga tidak pernah menjadi pilihan yang dia rencanakan untuk masa depan.

Prolog:Bandung, 14 Februari 2016


AKU berlari kencang, menabrak orang-orang. Ini pastilah gerakan tercepat yang pernah kulakukan seumur hidupku. Seolah hidupku bergantung pada seberapa kencang kakiku bisa berlari, seberapa lama aku bisa mengabaikan paru-paruku yang meronta, seberapa cepat aku bisa menggapainya.


Keegoisan-keegoisan. Ketakutan-ketakutan yang kumiliki. Semuanya mendadak tidak berarti lagi saat ini. Seberapa banyak aku rela melepaskan, seberapa jauh aku akan melangkah demi bisa bersamanya. Aku bisa membuang apa saja untuknya. Kali ini, seharusnya akulah pihak yang berjuang demi hubungan kami.


Aku mendengar klakson dari pengemudi-pengemudi yang marah karena aku seenaknya menghambat jalur mereka, melangkah cepat di antara mobil-mobil yang sama tidak sabarnya denganku, tidak memedulikan lampu lalu lintas yang masih hijau, dan menulikan pendengaran saat makian-makian tidak sopan mulai terdengar.


Aku memanggilnya. Aku memanggilnya sekuat tenaga, sekeras yang kubisa. Tidak menoleh meski Aditya mengejarku di belakang dan ikut meneriakkan namaku, memintaku agar berhenti. Aku terus memanggilnya dengan putus asa, dengan kekalutan yang terdengar jelas dari suara yang kukeluarkan. Kenapa dia tidak menoleh juga?


Lalu suasana tiba-tiba hening. Seakan tombol stop ditekan dan volume suara dimatikan dengan paksa. Seseorang mendorongku dengan keras, membuat tubuhku terempas ke pinggir jalan. Dan tanpa melihat langsung, aku tahu apa yang terjadi. Apa penyebab dari semua keheningan yang mendadak ini.
Aku bisa menebaknya. Benturan keras itu, jeritan kaget orang- orang, suara tubuh yang menghantam trotoar.

Dan di dalam hati, aku mendengar diriku berkata, aku sudah kehilangan Ragga.

No comments

Theme images by fpm. Powered by Blogger.